
Oleh: Dedy Sumardi & Riadhus Solihin
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh
Pendahuluan
Dalam kehidupan masyarakat adat di Indonesia, penyelesaian konflik seringkali melibatkan peran tokoh-tokoh adat yang dihormati. Salah satu contohnya adalah Niniak Mamak di kalangan masyarakat Suku Jamee di Aceh Selatan. Niniak Mamak merupakan lembaga adat yang memiliki peran sentral dalam menyelesaikan berbagai bentuk konflik, termasuk tindak pidana seperti pelecehan seksual. Artikel ini akan mengupas lebih dalam mengenai peran Niniak Mamak dalam konteks penyelesaian tindak pidana pelecehan seksual dan bagaimana otoritas adat ini berfungsi sebagai mekanisme restorative justice yang unik dan khas dalam masyarakat Suku Jamee.
Niniak Mamak dalam masyarakat Suku Jamee memiliki posisi yang sangat penting. Sebagai pemimpin adat, mereka memegang otoritas tertinggi dalam pengambilan keputusan terkait berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk penyelesaian tindak pidana. Otoritas ini bukan hanya bersifat administratif, tetapi juga moral dan sosial, karena Niniak Mamak dipercaya untuk menjaga keharmonisan dan keseimbangan dalam masyarakat.
Dalam konteks penyelesaian tindak pidana, khususnya pelecehan seksual, peran Niniak Mamak sangat krusial. Mereka berfungsi sebagai mediator yang berupaya untuk menyelesaikan konflik melalui pendekatan musyawarah dan mufakat. Hal ini mencerminkan nilai-nilai dasar dalam budaya Aceh yang mengedepankan prinsip musyawarah dalam setiap penyelesaian masalah. Proses ini tidak hanya bertujuan untuk menghukum pelaku, tetapi juga untuk memulihkan hubungan sosial yang terganggu akibat konflik tersebut.
Mekanisme Penyelesaian Tindak Pidana oleh Niniak Mamak
Mekanisme penyelesaian tindak pidana oleh Niniak Mamak pada Suku Jamee melibatkan beberapa tahapan. Pertama, pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan diajukan kepada Niniak Mamak. Setelah itu, Niniak Mamak melakukan penyelidikan awal untuk mengumpulkan fakta-fakta yang relevan terkait kasus tersebut. Kemudian, diadakan musyawarah adat yang melibatkan pihak-pihak terkait, termasuk pelaku dan korban, untuk mendiskusikan masalah dan mencari solusi yang adil bagi semua pihak. Dalam musyawarah ini, semua pihak diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat dan memberikan keterangan. Keputusan yang diambil oleh Niniak Mamak seringkali berupa sanksi adat, seperti denda atau kerja sosial. Setelah sanksi dijalani, diadakan upacara adat untuk memulihkan hubungan antara pelaku dan korban, sehingga kedamaian dan harmoni dapat kembali tercipta dalam komunitas.
Otoritas Niniak Mamak sebagai lembaga penyelesaian tindak pidana dalam masyarakat Suku Jamee sangat penting. Mereka memiliki peran sebagai mediator dalam penyelesaian konflik, baik dalam kasus perdata maupun pidana. Keputusan yang diambil oleh Niniak Mamak bersifat final dan mengikat semua pihak, termasuk perangkat desa (gampong). Jenis tindak pidana yang biasanya diselesaikan oleh Niniak Mamak meliputi tindak pidana yang melibatkan keluarga, seperti pelecehan seksual terhadap anak, untuk menjaga kerahasiaan dan martabat keluarga. Namun, untuk kasus-kasus yang merusak nilai kehormatan, seperti perzinahan atau pemerkosaan, otoritas Niniak Mamak lebih terbatas dan sering kali kasus diserahkan kepada pihak berwenang, seperti kepolisian.
Tantangan dan Relevansi di Era Modern
Meskipun peran Niniak Mamak dalam penyelesaian tindak pidana seperti pelecehan seksual masih sangat relevan dan dihargai, praktik ini tidak lepas dari tantangan. Salah satu tantangan terbesar adalah perubahan sosial yang cepat akibat modernisasi dan globalisasi. Generasi muda, misalnya, mungkin lebih cenderung memilih penyelesaian sengketa melalui sistem peradilan formal daripada melalui mediasi adat karena mereka merasa sistem formal lebih sesuai dengan perkembangan zaman dan memberikan jaminan hukum yang lebih kuat.
Selain itu, interaksi antara hukum adat dan hukum negara juga menimbulkan tantangan tersendiri. Di beberapa wilayah, hukum adat diakui dan dihormati oleh negara. Namun, di wilayah lain, hukum adat sering kali dianggap tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum nasional. Hal ini dapat menimbulkan konflik antara kedua sistem hukum, terutama ketika terjadi sengketa yang melibatkan kepentingan yang lebih luas, seperti sengketa tanah yang melibatkan pemerintah atau perusahaan besar.
Namun demikian, mediasi adat tetap relevan sebagai alternatif penyelesaian sengketa yang efisien dan efektif, terutama di komunitas yang masih kuat mempertahankan nilai-nilai tradisionalnya. Mediasi menawarkan solusi yang lebih fleksibel dan berorientasi pada pemulihan hubungan sosial dibandingkan dengan sistem peradilan formal yang lebih kaku dan berorientasi pada hukuman. Dengan pendekatan yang lebih inklusif dan partisipatif, mediasi adat dapat menjadi jembatan antara tradisi dan modernitas serta antara hukum adat dan hukum negara.
Peran Niniak Mamak dalam masyarakat Suku Jamee di Aceh Selatan menunjukkan bagaimana kearifan lokal dapat berfungsi sebagai mekanisme penyelesaian konflik yang efektif dan efisien. Dengan pendekatan restorative justice, Niniak Mamak mampu menyelesaikan berbagai bentuk konflik, termasuk tindak pidana seperti pelecehan seksual, dengan cara yang lebih adil dan berorientasi pada pemulihan hubungan sosial. Meskipun menghadapi berbagai tantangan di era modern, peran Niniak Mamak tetap relevan dan penting dalam menjaga keharmonisan dan keseimbangan dalam masyarakat.
Dalam konteks ini, penting untuk terus mempertahankan dan mengembangkan mekanisme penyelesaian konflik berbasis adat yang mengedepankan prinsip-prinsip keadilan restoratif dan nilai-nilai kebersamaan. Hal ini tidak hanya penting untuk menjaga keharmonisan sosial, tetapi juga untuk melestarikan kearifan lokal yang menjadi bagian integral dari identitas budaya masyarakat Suku Jamee di Aceh Selatan.
Dengan demikian, otoritas Niniak Mamak sebagai lembaga penyelesaian tindak pidana pelecehan seksual dalam masyarakat Suku Jamee adalah contoh nyata bagaimana tradisi dan kearifan lokal dapat memainkan peran penting dalam penyelesaian konflik dan pembentukan hukum adat yang adil dan berkeadilan. Semoga peran ini terus dijaga dan dikembangkan untuk kebaikan bersama masyarakat Suku Jamee dan masyarakat adat lainnya di Indonesia.
(Tulisan ini merupakan hasil dari riset yang mendapat bantuan pembiayaan Litapdimas Satker UIN Ar-Raniry Banda Aceh T.A. 2024)
